Wednesday, July 30, 2014

Akhir Dari Myanmar

Perjalanan kembali dari Bagan - Yangoon memakan waktu 9 Jam, sehingga kami sampai di terminal Au Ming Lar pada pkl 05.30 pagi, dimana kegiatan para biksu mencari sumbangan sudah mulai ramai di terminal ini, menunggu pagi hari kami memutuskan untuk mencari sarapan di sebuah restaurant sederhana, sambil menunggu sarapan datang, gue mencoba bertanya kepada seorang pria yang berdiri tepat di depan gue,

"Mas.. kalau angkutan ke Shwedagon no berapa yah ?"

"Ke Shwedagon Pagoda ?" Mas yang sedang sibuk menghirup uap bensin dari tangki motornya itupun mengalihkan perhatiannya ke arah gue

Dengan mata yang mulai nampak merah seperti terkena penyakit ebola, mas itupun menjawab "Wah saya kurang tahu, coba tanya sama bapak yang punya restaurant"

Sambil berlalu saya meninggalkan pria tersebut kembali menghirup uap bensin dari tangki motor yang berikutnya.

Tak berselang beberapa lama ariev pun bertanya, kepada pemilik restaurant, angkutan publik untuk menuju shwedagon Pagoda, yang merupakan icon dari negara myanmar

Dan kami di arahkan untuk mencari bus no 43, selang beberapa lama bapak itu bertanya, dari mana negara asal kami, karena melihat ariev yang nampak serupa dengan orang myanmar lainnya tapi juga fasih berbahasa inggris, sehingga mengundang tanya dari si bapak pemilik restaurant, dengan bangga kami mengucapkan "Dari Indonesia pak" dan si bapak pun tersenyum, sambil berkata bahwa beliau juga pernah bekerja di indonesia sebagai supir, dengan senyum yang ikhlas beliau mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang Indah, sambil berlalu kamipun pergi meninggalkan beliau tetap dengan penilaiannya pada saat dia di Indonesia
menemukan bus dengan no 43 adalah bukan hal yang mudah dilakukan di Myanmar, itu karena semua bus menggunakan bahasa Myanmar yang tentunya tidak menggunakan huruf alfabet

Hampir rata-rata bus di Myanmar di import dari Jepang yang notabenenya sudah tidak layak digunakan, tetapi hal yang menarik dari bus - bus tua yang ada di tempat ini, adalah BUS tersebut tidak menyebarkan polusi seperti layaknya bus - bus yang ada di indonesia.

MENCENGANGKAN !! Sebuah inovasi yang dibuat oleh bangsa yang baru saja melepaskan diri dari kudeta Militer Jenderal Ne Win pada tahun 1988 ini, mampu menerapkan bus dengan Bahan Bakar Gas.

No 43 ?

Perjalanan menuju Shwedagon memakan waktu sekitar 1 jam 15 Menit hanya dengan 200 Kyat / orang, disini gue bisa melihat dan merasakan kearifan lokal, berasa menjadi salah satu dari mereka sampai gue tersadar bahwa mereka terus melihat gue seolah-olah gue pemerkosa nenek mereka sewaktu muda,

tatapan yang tajam dan bengis
Iya, tinggi dan warna kulit memang membedakan saya dengan mereka
Terkecuali Ariev dan mereka yang nampak "saru"

Banyak sekali replika Andhika Kangen Band di bus ini, yang nampak seperti anak kuliahan dengan warna celana yang cerah, perpaduan Muka Andhika dengan Celana Cerah adalah hal ter-absurd yang pernah gue lihat

 
 

Ada 4 Gate untuk memasukin areal Shwedagon Pagoda, entrance fee 8 usd + dengan map yang diberikan secara cuma-cuma, sedikit drama terjadi disini, ketika Ariev membayar entrance fee menggunakan dollar yang nampak agak sedikit kusut, dan mereka menolaknya, dengan alibi yang cukup kuat Ariev bersikeras, bahwa uang yang digunakan ini juga merupakan kembalian dari transaksi sebelumnya, setelah terjadi negosiasi yang cukup alot, pihak pengelola memberikan izin masuk kepada ariev secara cuma-cuma + dengan free wifi yang memang bisa di nikmati di dalam area.
memasuki gate kami sudah di suguhi dengan Pagoda Shwedagon yang sangat besar dan bersinar, karena hampir seluruh pagoda di tempat ini dilapisi oleh Emas
 

Pada umumnya untuk mengitari Pagoda ini adalah mengikuti arah Jarum Jam, akan tetapi karena kami adalah anak yang anti-mainstream, maka kami memutuskan untuk memilih Jalan kami sendiri, sehingga kami pun terpencar di areal ini, dan cukup memakan waktu untuk saling menemukan kembali
Ada beberapa spot di areal wisata ini selain shwedagon Pagoda, gue menemukan Aula kesejahteraan (Hall of Great of Prosperity) berisikan patung Buddha duduk setinggi 9 meter
keluar dari aula kesejahteraan gue menemukan Gong besar yang diberi nama Mahaghanta, dengan bobot 25 Ton, tinggi 2,1 meter, lebar 2 meter,dan ketebalan sekitar 30cm, yang dibawa dari Tasik pada tahun 1779 oleh raja ke empat, konon katanya Farhat Abbas, siapapun yang membunyikan Gong ini sebanyak 3(tiga) kali akan terus diberkahi.
Berkahi bukan birahi -red.
Tapi karena gue ga percaya Farhat Abbas maka gue cuma foto di depannya
Mahaghanta
Tidak luput dari pandangan gue Bodhi Tree yang merupakan salah satu simbol utama dalam agama Buddha, karena Sang Buddha mendapatkan pencerahan pada saat berada di bawah pohon ini , bukan di Jamban
Gue juga menemukan penunjuk ATM dengan bahasa sunda di sini, sungguh mencengangkan !!
#MendadakCintaIndonesia
Setelah Me-Time di pojokan, sambil browsing dan menghubungi orang rumah dengan fasilitas wifi yang disediakan, gue melanjutkan mengunjungi Pagoda Naungdawgyi yang merupakan Kakak dari Shwedagon Pagoda, dengan sosok yang lebih kecil, yang bisa di analogikan pada manusia pada umumnya adalah sang kakak biasanya lebih kecil dari sang adik yang biasanya selalu lebih bongsor
*Badannya bukan otaknya
Pagoda Naungdawgyi

Hal terakhir yang gue temui adalah Genta / Lonceng Mahasaddhaghanta, dan gue gak mau kehilangan kesempatan terakhir ini, disini gue membunyikan gong sebanyak 3 kali dan berharap keberuntungan, jodoh, umur panjang, kesehatan, kebahagiaan, rumah mewah, Mobil alphard, Liburan ke pegunungan alpen, pesawat pribadi, Agnes Monica, Sandra Dewi bisa gue raih.
Lonceng Mahasaddhaghanta

Sosok Chinthe juga ada di gate utama
Sebagai trademark, gue biasanya selalu membubuhkan tatttoo dari negara yang pernah gue kunjungi, tujuan gue kali ini adalah Golden Dragon tattoo, yang memang direkomendasikan oleh google yang secara kebetulan berada dekat dengan pasar Bogyoke, pucuk di cinta Ulam pun Tiba, ibarat menyelam sambil minum air, kamipun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berbelanja souvenir di pasar Bogyoke Aung San


 
Sambil menunggu sang tattoo artist mendesain tulisan Filipi 4:6 "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada ALLAH dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur", yang sebelumnya sudah gue negosiasikan dengan harga 35 USD untuk tattoo sepanjang 3 inchi, walaupun cukup mahal harga ini adalah tepat untuk sebuah seni.
 

Last but not least gue mengunjungi rumah Aung San Suu Kyi, anak salah satu founding fathers Burma, Aung San yang di bunuh oleh pesaing terberatnya Jenderal Ne Win, yang melakukan kudeta militer pada tahun 1962, latar belakang kudeta oleh Juntai Militer ini adalah banyaknya intervensi terhadap negara bekas jajahan Jepang dan Inggris ini dalam proses pembangunan, akhirnya ideologi nasionalisasi (menutup diri dari dunia luar) oleh Jendral Ne Win, diterapkan selama 46 tahun lamanya, sehingga pada tahun 1988 seorang wanita gagah perkasa yang bernama Aung San Suu Kyi Bangkit dengan Partai National League For Democratic (NLD), memenangkan pemilu pada saat itu, akan tetapi tidak di akui oleh pemerintahan Myanmar pada saat itu, sehingga mengakibatkan Aung San Suu Kyi menjadi tahanan rumah pada saat itu selama 15 tahun lamanya, yang baru saja dilepas pada tahun 2012 kemarin.
Based on True Story
Aung San Suu Kyi
Jenderal Ne Win
Cukup sulit demokrasi diterapkan di negara ini, terlihat dari banyaknya korban yang berjatuhan dalam proses pencapaian demokrasi, dan terbukti dari tragedi yang disebut generasi 88, sekitar 3000 korban meninggal dari kalangan mahasiswa dan biksu, sehingga akhirnya setelah tragedi thn 1988 Jenderal Ne Win menyatakan untuk mengundurkan diri dengan alasan kesehatan, dan di gantikan oleh juntai militer SLORC (State Law and Order Restoration Council), dari cerita ini membuat gue teringat dengan salah satu misi salah satu capres, yang ingin me-nasionalisasi Bangsa indonesia, dan secara 'kebetulan' beliau juga merupakan mantan dari pihak militer yang secara 'kebetulan' juga memang ada kaitannya dengan tragedi tahun 1998 yaitu proses reformasi dari orde baru yang sama-sama memakan korban dari pihak rakyat sipil, apakah memang kebetulan ini bisa di jadikan benang merah atau dijadikan pembelajaran kita untuk memilih calon pemimpin secara teliti, dengan cara belajar dari pengalaman negara lain.

Akhir kata dari gue :

Selamat Idul Fitri 1435 H untuk yang merayakan

Selamat Berlibur bagi yang tidak merayakan

Selamat Tidur Panjang bagi para Jomblo




Hardi, Oka, Ariev
Kontributor :
Hardi : http://culinaryntravelmaniac.blogspot.com/
Ariev : http://backpackstory.me/
Golden Dargoon Tattoo : azealottattoo@gmail.com,goldendragontattoo.mm@gmail.com











Friday, July 11, 2014

Mount Popa di Bagan #Myanmar Day 4

Ini adalah hari ke empat kami berada di Myanmar, atau tepat 3 bulan saya menjomblo

PADA WAKTU ITU.... 





tapi kalau sekarang.....


Yah.... hampir setahun lah




Perjalanan kami di bagan hari ini adalah menuju Mount Popa, Gunung berapi dengan ketinggian 1518 mdpl, yang memang di jadikan tempat ibadah karena banyak kuil dan patung leluhur di atas sana, tempat ini berjarak 50 km dari kota terdekat yaitu Bagan, dengan waktu tempuh satu setengah jam.
Mount Popa dari Jauh
Jauh dari Normal
Perjalanan sampai puncak Mount Popa bukanlah hal mudah, lebih tepatnya ada 777 anak tangga yang harus lewati untuk sampai ke puncak dengan sudut yang sangat sempit dan MENGANTRI !!!!

kebayangkan lo, uda Nanjak, Sempit dan Ngantri

rasanya kaya Naik motor Ninja bonceng TIGA..!!
KESEMUTAN tapi GAK BISA BERBUAT APA-APA, walau biji rasanya kaya kecubit walang sangit
gue menghabiskan waktu sekitar 25 menit untuk sampai puncak plus dengan istirahat sambil selfie, kalau om Hardi, selfie sambil istirahat, nah si ariev Istirahat aja tapi ga selfie
#GakPentingTapiDiBahasDanDiUlang

Selfie ala-ala
Di atas kita ketemu sama Ningsih warga italia yang solo backpacking dan pernah bertemu sewaktu kami di Mandalay, nama sebenarnya adalah Norma, tapi karena menurut gue nama norma terlalu mainstream, makanya gue ganti jadi Ningsih, ini blog gue, yah suka-suka gue.

#Songong #KemudianDikencinginPembaca


entah kebetulan atau ini yang disebut Jodoh, bak ABG yang ketemu buku stensil, Ariev dan Hardi, nampak begitu semangat berfoto dengan Ningsih
Sedangkan gue nampak begitu tenang mengambil foto mereka berdua sambil berdoa dalam hati,
Ya owoh...Kalau dia memang dia jodohku maka buatlah dia bersanding di sampingku, Tapi Kalau memang bukan maka biarlah dia di berada disamping-Mu

Sesampainya di atas maka gue menemukan pemandangan yang cukup menakutkan, mulai dari patung yang sangat mirip dengan wajah manusia, sampai dengan para peziarah yang nampak menaruh atau menempel uang di badan mereka sambil membakar dupa, dan menyembahnya

Beberapa pernak-pernik di jual di bawah, dan beberapa restaurant yang cukup murah juga ada di tempat wisata ini, kami pun memutuskan untuk makan di salah satu restaurant, dan tak di nyana, kamipun kembali bertemu Ningsih, sambil kembali berdoa dalam hati

'Ya Owoh..Kalau dia memang Jodohku maka dekatkanlah... '

belum sampai selesai Ariev pun bertanya..ki Lo ada Tolak Angin kan .?

Sebagai lelaki gue pun mengeluarkan Tolak Angin satu-satunya untuk diberikan ke Ningsih, gue pun berpikir selama ini masih hal yang wajar gue akan lakukan yang terbaik untuk Ningsih, Toh dia juga ga minta yang aneh-aneh, seperti Membeli sayur, buangin pembalut atau Nyebokin Singa.
waktu berselang dia pun tersenyum

bukan ke arah gue....

melainkan ke arah Ariev, karena Arievlah yang memberi Tolak Angin itu ke tangan dia
Usai dari Mount Popa, Kami pun kembali menuju Bagan, dan di perjalanan kami di hentikan untuk melihat tempat pembuatan minuman Arak setempat, dengan harga 30.000 Kyat/Botol, proses pembuatannya mulai dari pohon, buah, sampai penyulingannya dijelaskan oleh seorang bapak yang nampak cukup fasih berbahasa mandarin kepada saya ..
Ga deng, dia pake bahasa Indonesia #MakinBoong



Tetapi karena ragu apakah bisa atau tidak di bawa ke indonesia maka saya mengurungkan niat untuk membelinya.

minumannya, bukan si bapak




Kami pun tidak lupa untuk menemui Suku Long Neck yang ada di Myanmar, Suku Long Neck ini sebenarnya berasal dari Thailand, akan tetapi karena sulitnya mencari pekerjaan di Thailand maka mereka pun memutuskan untuk mencari nafkah di Myanmar..'Tapi Boong..JengJet.."


Suku Long Neck ini dapat di temui di Myinkaba Village yang hanya berjarak 1 km dari Bagan, dan kami langsung di arahkan ke rumahnya, sumbangan sukarela bisa diberikan untuk foto bersama mereka (ada dua), pada saat itu kami membayar 4.000 Kyat untuk berfoto bersama kami semua secara bergantian, dan satu hal lagi untuk sore hari biasanya mereka berada di Dhammayangyi untuk di jadikan objek foto bersama.


Dhammayangnyi adalah Kuil terakhir yang gue kunjungi sekaligus yang terbesar di Bagan, tetapi gue sudah mulai sore untuk memasuki kuil ini, sehingga begitu masuk ke dalam, gue merasakan kegelapan yang melebihi masa lalu gue, gue dan ariev memberanikan diri untuk tetap mengitari tempat ini Puji Syukur kami pun bisa kembali keluar dan melakukan aksi selfie minimalis dengan gaya ekstrimis

Perjalanan pun di akhiri pada pukul 18.00, dengan tarif 45.000 kyat untuk taksi yang sudah kami sewa selama satu harian, kami pun di turunkan di terminal bus untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Yangoon dengan bus Shwe Mandalar, dan tidak lupa kami makan malam di restoran yang menurut kami memiliki ciri khas tersendiri, yaitu mereka selalu berteriak kepada sesama karyawannya, akan tetapi itu tidak menjadikan hambatan bagi kami untuk makan di tempat itu karena harga yang cukup bersahabat dengan kantong kami

Usai sudah perjalanan gue di Bagan, mulai dari pengetahuan mengenai Thanakha di satu-satunya museum Thanakha di dunia, melihat langsung jutaan pagoda, melihat suasana magis di Mount Popa, sampai dengan pertemuan tali kasih dengan Suku Long Neck yang sudah merantau ke Myanmar.

Akhir kata dari gue..

Bantu indonesia membersihkan para Koruptor di pemerintahan dengan mencoblos No.2